Friday, December 31, 2004

Puisi Gunung

Gunung


Aku ingin seperti gunung yang tegar, tenang penuh kebijaksanaan.Ketika marah di hantamnya tanah-tanah dengan ganas lewat laharnya yang panas,namun marahnya bukan merusak tapi membangun kembali kesuburan tanah yang telah lama hilang di lahap mulut –mulut lapar dari mahluk yang bernama manusia.


Dari jauh tubuhnya yang kekar begitu perkasa mencakar langit, bajunya yang disulam dengan benang warna hijau biru sangat indah di pandang mata .


Aku ingin seperti gunung yang penuh kehangatan mendekap hewan-hewan dan tumbuhan yang dalam dekapanya semua terlindung dalam damai.Di tubuhnya kesejukan menebar dengan aromanya yang mempesona,kesegaran memancar dengan derasnya .


Dengan tangannya yang lembut dia selimuti tubuh-tubuh yang terlelap dalam dekapanya dengan kabut.Lagu-lagu nina bobo yang melantun dalam suasana hening makin melelapkan mata.


Aku ingin seperti gunung yang yang penuh kerendahan bersujud di depan singgasana Sang Raja.Aku ingin seperti gunung yang dari bibirnya terlantun puji-pujian yang berasal dari sungai –sungai jiwanya dengan penuh khusyuk


Jakarta,22 Juni 2000

Menunggu mu

MENUNGGUMU

Malam menjelang menggantikan senja dengan kegelapan , lampu-lampu kota terang tapi sunyi, jalan lenggang sehabis seharian turun hujan, hanya ada beberapa kendaraan yang melaju kencang , melewati genangan-genangan air di sepanjang jalan ini.
“Ah, mengapa kamu tak kunjung tiba, lama sudah aku menunggu di halte ini. Orang-orang yang menunggu bersamaku tadi sudah pergi entah kemana , ini sudah kelompok orang yang keberapa aku sudah tak mempedulikan lagi, tapi tetap saja aku masih disini, dibalut kegelisahan yang makin mendera menantimu dalam keadaan penuh harap dan keraguan. Sesekali kusesali kenapa aku begitu tololnya menunggumu datang yang entah kapan.”
Jes…jes.. jes..!!! , batang korek api menyala, rokok yang dijepit bibir sudah pasrah untuk dibakar menjadi abu dan asap, semuanya hanya berubah wujud tapi tidak hilang. Asap rokok tidak hilang tapi dia menyatu menjadi angin malam yang mungkin akan mengabarkan kepada mu untuk ingat bahwa aku sedang menunggumu, abu rokok pun tidak hilang ketika jatuh dalam genangan air hujan dia hanya menyatu larut kemudian mengalir dan mungkin akan sampai pula di didekatmu dan memberitahukanmu akan kesetiaanku menunggumu.
Hujan dan hembusan angin saat ini dingin dan semakin dingin, sehingga memaksaku menaikan resleting jaket kulit ini sampai leher , kemudian menghisap dalam-dalam rokok ku dan berharap kehangatan menjalar kedalam tubuhku. Ku mainkan asap rokok yang keluar dari mulutku, bentuknya indah dan menjadi salah satu hiburan bagi kebosananku. Kuputar-putar batang rokok diantara jari jemari ku mirip seorang drummer yang memutar-mutar stik drumnya. Tatapan ku mengarah kelangit “ ah… ini sudah terlalu lama, dia tak akan datang. Atau mungkin dia sudah datang terlebih dahulu dan juga menunggu seperti yang kulakukan, mungkin kita memang tidak ditakdirkan untuk bertemu”
Malam sudah semakin pekat dan larut dalam sepi , aku baru menyadarinya ketika tidak ada lagi orang-orang yang menunggu disini, kulihat sekeliling ada tulisan-tulisan yang murahan dan cabul mengores tiang-tiang dan dinding halte yang berwarna biru tua ini, ada juga poster-poster politik, iklan rokok, gambar-gambar seronok, dan bekas-bekas sobekan tempelan-tempelan pamflet. Ku buang puntung rokok terakhir ku kedalam genangan air hujan itu Ku melangkah pergi dari halte ini menyusuri jalan raya yang sudah benar-benar sepi dan anggap semua ini tidak pernah terjadi. Kuakui aku benar-benar tolol untuk menunggu mu sampai selarut ini.